Santri Sejati

Haruskah Ulama Itu Laki-laki?

Ma'had 'Aly (KPM 2015) Dokumenter, di Pantai Ujung Negoro, Batang.
Ilustrasi “Pantaskah Mereka Disebut Ulama?”.

Adanya acara Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) di Cirebon kemarin, adalah sesuatu yang menggelitik bagi saya (penulis), karena ‘ulama perempuan’ terdengar asing bagi kita (kaum awwam), bisa jadi karena kita (pembaca) kurang baca buku, atau memang ‘ulama perempuan’ itu tidak ada. Oleh itu, InsyaAllah dalam paper ini penulis akan menggali informasi lebih luas lagi terkait ‘Gender’ dengan judul “Haruskah Ulama Itu Laki-Laki?”.

Paper ini ditulis berawal dari adanya aktifitas ulama perempuan Indonesia, tetapi penulis tidak akan membahas terkait tentangnya, paper ini akan membahas terkait: adakah ulama perempuan? Dan bagaimana adanya?. Sebagai pembuka bacaan paper ini, penulis memaparkan pengertian ulama menurut para ulama di se-panjang dunia (ulama dari barat, timur dan ulama Indonesia kita sendiri).

Selanjutnya, penulis juga memaparkan tentang “Al-Qur’an dan Budaya Patriarki”, karena sedikit niat penulis untuk menjelaskan sekaligus meluruskan (mungkin) bagi yang masih beranggapan “Al Qur’an berbudaya patriarki”, benarkah demikian?, justru Al Qur’an datang mengangkat derajat perempuan, “dan bagaimana nasib waris 2:1, poligami, talak dan wali berpihak pada laki-laki?”, anda masih tidak percaya?, baca paper ini sampai khatam yah!, #hehehe.

Dan terakhir, bukti dari Al Quran tidak memihak pada laki-laki saja atau perempuan saja, penulis menguraikan “Keberadaan & Peran Ulama Perempuan”, kiranya sekian, sebagai intro dalam tulisan ini, penulis sadar pasti ada banyak kesalahan-kesalahan baik dari segi isi (matan) atau kepenulisan dan lain-lain, oleh itu mohon maaf dan maklum adanya. Selamat Membaca.

Pengertian Ulama

Sebelum kita membahas dalam pokok permasalahan, kita ketahui dulu apa yang diartikan dari kata ‘ulama’. Secara etimologi kata Ulama’ jama dari fail ‘Aalimun berasal dari fi’il madli-mudhore’-masdar (‘Alima-Ya’lamu-‘Ilman)[1], Di dalam al Qur’an terdapat dua kata ulama yaitu pada surat Fatir ayat 28 dan surat al Shu‘ara’ ayat 197. Berikut delapan arti ‘ulama’, menurut para ilmuan indonesia, timur dan barat;

Menurut imam Nawawi al Bantaniy dan Sayyid Qutb, ulama adalah hamba Allah yang memiliki jiwa dan kekuatan ‘khashyatullah’ (takut Allah SWT), mengenal Allah dengan pengertian yang hakiki, pewaris Nabi, pelita ummat dengan ilmu dan bimbingannya, menjadi pemimpin dan panutan yang uswah khasanah dalam ketaqwaan dan istiqamah yang menjadi landasan baginya dalam beribadah dan beramal shaleh selalu benar dan adil. Sebagai mujahid dalam menegakkan kebenaran, tidak takut pada celaan dan tidak mengikuti hawa nafsu, menyuruh yang ma‘ruf dan mencegah pada yang munkar.[2]

Kedua, menurut Horikoshi, ulama adalah sekelompok sarjana hukum Islam yang secara tradisional berfungsi sebagai muballigh, guru dan tempat bertanya umat Islam dan khalifah. Secara teoritis peranan mereka sebagai ahli hukum Islam ortodoksi menjamin praktik-praktik keagamaan para penganut dan persoalan-persoalan kenegaraan sesuai dengan syari‘ah Islam. Dalam kehidupan masyarakat lokal, wilayah kekuasaan ulama biasanya dibatasi pada lembaga-lembaga Islam semacam masjid dan madrasah, di mana mereka mengabdi sebagai fungsionaris agama.[3]

Ketiga, menurut Ibn al-Jawzi, ulama adalah orang yang berilmu dengan segala disiplin ilmunya, seperti para Qari’, ahli Hadith, ahli Fiqh, ahli al-wu’az dan ahli al-Qisas (para penasehat dan penutur kisah), ahli al-Lughah dan para al-Shu’ara’.[4]

Keempat, ulama menurut al-Ghazali adalah ada dua yaitu ulama dunia dan ulama akhirat. Ulama dunia adalah ulama yang orientasi keilmuannya tertuju pada kenikmatan dunia, yaitu untuk mencapai kedudukan dan jabatan (ulama’ al Su’). Sedangkan ulama akhirat (ulama’ ghyr al su’ ),[5] ulama yang tidak memakan dunia dengan agamanya (ilmunya), dan ulama tersebut memperoleh kemenangan dekat dengan Allah SWT, dan mencari ilmunya dengan zuhud dan khusyu’, ulama akhirat benar-benar mengajak kepada kebahagiaan akhirat. [6]

Kelima, ulama menurut al Suyuti adalah terbagi menjadi empat, yaitu 1) ulama ahli tafsir dari kalangan sahabat, tabi‘in dan tabi‘ al tabi‘in (tiga generasi pertama). 2) Mu‘tazilah, Shi‘ah dan semisalnya.[7] Pembagian ulama menurut al-Suyuti  ini menurut penulis ada dikotomi terhadap ulama ahli sunnah dan ahli hadith. Karena meski ada perbedaan sedikit tentang makna hadith dan sunnah dari ulama fiqh dan ulama usul tapi menurut ulama hadith, sunnah dan hadith adalah sinonim atau persamaan.[8]

Keenam, term ulama menurut Arnold H. Green adalah corps of religious leaders kesatuan dari pemimpin agama.” Dan dalam penjelasan yang diberikan Green dalam penjelasanya tentang ulama juga tidak ada batasan ulama itu harus dari kaum laki-laki.[9]

Ketujuh, ulama menurut Azyumardi Azra adalah orang yang mengetahui atau orang yang memiliki ilmu. Tidak ada pembatasan ilmu spesifik dalam pengertian ini. Tetapi seiring perkembangan ilmu justru pengertian ulama menyempit menjadi orang yang memiliki pengetahuan dalam bidang fiqh.[10]

Kedelapan, ulama menurut Ali Yafie, yang ia kutip dari ‘Imad al Din Ibn Kathir yang menukilkan keterangan dari Ibn ‘Abbas adalah bagian dari uli al amr yaitu ahl alfiqh wa al din (ahli dalam masalah fiqh dan agama). Sama dengan pendapat Mujahid, ‘Ata’, al Hasan al Bashri dan ‘Abu al ‘Aliyah (ulama tabi‘in). Pengertian ini diperkuat oleh ayat 63 surat al Maidah dan ayat 43 surat al Nahl, ditambahkan dengan hadith sahih yang diriwayatkan oleh Abu Hurayrah ra. Dari Nabi saw:

“Barangsiapa mendurhakai aku berarti dia sudah mendurhakai Allah dan barangsiapa yang telah mendurhakai amir yang telah aku angkat berarti dia telah mendurhakai aku.” Penjelasan ini perintah untuk menaati perintah terhadap umara’ dan ulama.[11]

Jika diambil garis besar dari pengartian-pengartian ulama diatas, ulama adalah orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya serta takut kepada Allah SWT. Dan dari kedepalan pengertian ‘ulama’ di atas, gelar ‘ulama’ tidak dikhususkan bagi laki-laki atau perempuan saja. Namun, praktik dalam masyarakat, mereka masih canggung untuk membenarkan adanya ulama perempuan. Ternyata, budaya patriarki atau budaya kebapaan masih kental di lingkungan kita.

Al Qur’an dan Budaya Patriarki

Dalam sejarah, perempuan selalu didiskriminasi/termarginalkan dan mendapatkan sisi negatif, kondisi itu menjadi langgeng akibat dari mengakarnya budaya patriarkhi di kehidupan. Hadirnya Islam adalah sejarah pembebasan manusia termasuk perempuan (dan perbudakkan).

Budaya yang berkembang pada pra-Islam sangat patrialistik, budaya yang menganggap anak perempuan sebagai sebuah kerugian bagi kabilah atau sukunya. Diakui atau tidak, dengan masih kuatnya pengaruh budaya-budaya patrialistik tersebut, berimplikasi atau berpengaruh terhadap proses keagamaan yang merupakan bentuk implementasi dari penafsiran al-Qur’an dan Hadis yang bias gender. Konsekuensinya adalah kristalisasi dari semua itu menjadi ajaran keagamaan yang patrialistik.[12]

Dalam riwayat dari Ibnu Abbas, Umar bin Khattab seorang sahabat Rasulallah saw. Menuturkan perubahan sikap drastis atas perempuan yang diajarkan oleh Islam.

Artinya:

Dulu kami pada masa jahiliyyah tidak memperhitungkan perempuan sama sekali. Ketika Islam turun, dan Allah mengakui mereka kemudian kami memandang bahwa mereka pun memiliki hak atas kami yang otonom dan tidak bisa kami intervensi (HR. Al-Bukhari)

Menurut penulis, budaya patriarki yang mengenyampingkan perempuan atau memandang perempuan lebih rendah dari laki-laki, sakjane sudah tidak relevan lagi di masa ini. Perempuan jelas tidak dapat dikesampingkan dari laki-laki, karena keduanya adalah wujud keserasian dalam mencapai kesempurnaan. Perempuan juga tidak lagi dapat dipandang lebih rendah dari laki-laki, karena sudah banyak perempuan (tidak hanya laki-laki) yang menduduki jabatan pemerintahan, disebabkan kualitas dan kapabilitas mereka yang lebih brilian dari laki-laki (peran sosial dan politik).

Dalam riwayat dari Ibnu Abbas, Umar bin Khattab seorang sahabat Rasulallah saw. Menuturkan perubahan sikap drastis atas perempuan yang diajarkan oleh Islam. Artinya:

Dulu kami pada masa jahiliyyah tidak memperhitungkan perempuan sama sekali. Ketika Islam turun, dan Allah mengakui mereka kemudian kami memandang bahwa mereka pun memiliki hak atas kami yang otonom dan tidak bisa kami intervensi (HR. Al-Bukhari).

Al-Qur’an sendiri secara umum mengidealkan perempuan sebagai sosok yang memiliki kemandirian politik (al-Mumtahanah:12), sebagaimana sosok Ratu Balqis yang mempunyai kerajaan super power (al-Naml; 23), memiliki kemandirian dalam menentukan pilihan-pilihan pribadi (al-Tahrim: 11), perempuan dibenarkan untuk menyuarakan kebenaran dan melakukan gerakan oposisi terhadap berbagai kebobrokan (al-Tawbah: 71), bahkan al-Qur’an juga menyerukan perang terhadap suatu negeri yang menindas perempuan (al-Nisa’: 5).[13]

Cita-cita orisinal al-Qur’an adalah tegaknya kehidupan manusia yang bermoral luhur dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan universal (humanisme universal).[14] Prinsip-prinsip tersebut antara lain diwujudkan dalam upaya-upaya penegakan secara universal atas keadilan, kesetaraan, kebersamaan, kebebasan, dan penghargaan hak-hak orang lain.[15]

Selain ayat-ayat tersebut (di atas), Al Qur’an juga menyebutkan ayat-ayat yang ditafsiri oleh penafsirnya dengan tidak memihak perempuan (misogini), seperti ayat waris surat An Nisa:11, ayat kepemimpinan laki-laki surat An Nisa: 34, keduanya masih menimbulkan pemahaman patrilineal (fiqh patriarki), yang perlu diadakan dekonstruksi fiqh patriarki yang berpijak pada tauhid dan keadilan sosial.[16]

Sekarang, posisi perempuan kembali menjadi sebuah sasaran bagi kaum laki-laki (lagi-lagi dalam bentuk dominasi, stereotype, violence, subordinasi, marginalisasi, dan lain-lain). Salah satu gambaran dari sekian banyak dari berbagai stereotype tersebut (untuk mengatakan sebagian saja) adalah munculnya penafsiran-penafsiran misoginis.[17]

Oleh itu, Islam datang untuk melakukan revolusi untuk membuat sistem kehidupan yang sama (status, hak dan kewajiban). Munculnya berbagai bentuk diskriminasi di atas, dimungkinkan berawal dari pemahaman orang-orang terdahulu yang memahami al-Qur’an secara tekstual dengan mengesampingkan konteks sosio-historis. Maka ayat-ayat yang dianggap misogini itu, perlu di reinterpretasikan (dirumuskan) kembali dengan mempertimbangkan kondisi-kondisi yang tetap berubah dan kesadaran baru dikalangan para perempuan.

Keberadaan & Peran Ulama Perempuan

Di zaman Rasulullah saw, kaum perempuan sudah berperan dalam berbagai macam  aspek pekerjaan. Terutama aspek pendidikan atau memberi fatwa. Ummahat al-mu’minin, Aishah mempersilahkan kepada orang yang ingin mendalami sunnah Rasulullah saw. Bahkan sebagian mereka turut serta dalam jihad di jalan Allah dan ikut berperang yang dipimpin oleh Rasulullah saw. Misalnya, Nasibah bint. Ka’ab ikut serta dalam perang Uhud, Aminah bint. Qaysh al-Ghifariyah dan Ablat Bila’ Khusna ikut dalam perang Khaybar, Ummu ‘Atiyah al-Ansariyah dan al-Rabi’ah bint. Mas’ud yang ikut dalam peperangan lainnya.[18] Pada masa Kalifah-pun perempuan memiliki peran penting. Umar bin al-Khattab mengangkat al-Shifa’ bint. Abdillah sebagai pengawas keuangan yang merupakan tugas penting bagi negara.[19]       

Bagaimana akibatnya jika agama (Islam) selalu diidentikkan dengan Fiqih?.

Pengidentikan seperti itu menyebabkan aktualisasi ajaran Islam non-fiqh yang tidak bias gender tidak mampu mengubah sikap diskriminatif komunitas Muslim terhadap kaum perempuan.[20] Dalam Pandangan Islam, laki-laki dan perempuan memiliki kapasitas hak dan kewajiban yang sama untuk bisa menjadi seorang hamba yang baik. Prinsip kesetaraan ini bisa dilihat, misalnya, dalam tradisi sufi yang menyatakan bahwa derajat al-insan al-kamil, artinya manusia sempurna, tidak menjadi wilayah kaum laki-laki saja, karena perempuan juga memiliki kapasitas untuk mengakses derajat tersebut.[21]

Dalam kitabnya al-Futuhat al-Makiyyah, Muhyiddin Ibn ‘Arabi menyebutkan empat puluh nama sufi besar yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Bahkan konsep laki-laki dalam tradisi sufi tidak mendukung makna gender, karena kata tersebut secara metaphoric selalu diartikan siapa saja (baik laki-laki atau perempuan) yang mampu berintegrasi dengan Tuhanya.[22]

Al Quran sendiri menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kapasitas yang sama, baik kapasitas moral, spiritual, maupun intelektual. Dalam menyampaikan pesanya, al-Qur’an seringkali menggunakan ungkapan “laki-laki dan perempuan beriman”, sebagai bukti pengakuanya terhadap kesetaraan hak dan kewajiban mereka. Dalam hal kewajiban agamapun, al-Qur’an tidak menunjukkan beban yang  berbeda kepada keduanya. Demikian pula al-Qur’an tidak membadakan kapasitas laki-laki dan perempuan dalam mengaktualisasikan ajaran Islam. Keduanya, memiliki kemampuan yang sama untuk bisa menjadi manusia yang baik.[23]

Prinsip kesetaraan tersebut menjadi sebab terbukanya peluang bagi perempuan untuk menjadi partner laki-laki dalam mengarungi kehidupan mereka. Sejarah Islam mencatat bahwa Nabi Muhammad SAW. Tidak pernah melakukan istrinya sebagai konco wingking, tetapi memerankan mereka sebagai partner dalam mengatasi berbagai tantangan hidup. Seperti diketahui bahwa Khadijah adalah penasihat utamanya Nabi (close confidante) yang selalu memberikan advokasi, setiap kali Nabi menghadapi situasi yang kritis. Karena itu Khadijah dianggap sebagai patronya Nabi. Melalui kemampuan lobinya, upaya kelompok elite Mekah untuk mengganjal perjuangan Nabi di kota itu selalu dapat digagalkan.[24]

Peran serupa juga bisa ditemukan pada diri ‘Aisyah , yang tidak hanya mendampingi Nabi dalam berbagai ekspedisi militernya, tetapi juga menyebarkan ajaranya. ‘Aisyah dikenal sebagai seorang transmitter (al-rawiyah) terkemuka ajaran (hadits) Nabi. Dengan modal pengalaman sebagai aktivis lapangan semasa mendampingi Nabi, ‘Aisyah kemudian mampu membentuk kekuatan oposisi untuk menentang rezim yang berkuasa pasca wafatnya Nabi.[25]

Penyebutan peran ‘Aisyah di atas perlu dilanjutkan untuk menggambarkan keterlibatan perempuan dalam kehidupan publik pada masa awal Islam. Pada masa al-Khulafa al-Rashidin (632-661), aktivitas publik ‘Aisyah terus berlanjut. ‘Aisyah sering menyampaikan gagasan-gagasanya kepada para penguasa dalam urusan kenegaraan. Salah seorang muridnya, ‘Urwah bin Zubayr, menyebutkan bahwa ‘Aisyah juga aktif di bidang pendalaman keilmuan yang meliputi kajian hukum, sastra, sejarah dan geneologi.[26]

Keterlibatan perempuan di berbagai kegiatan publik tersebut berlanjut pada abad-abad berikutnya. Sejarah mencatat banyak nama perempuan yang ikut meramaikan aktivitas publik. Salah seorang di antaranya adalah Sayyidah Nafisah yang menjadi gurunya al-Shafi’i, saat yang disebut terakhir tadi mengikuti halaqah-nya di kota Fustat. Nama lain yang sering disebut dalam sejarah adalah Shaykhah Shuhda yang mengajar berbagai disiplin ilmu, mulai dari sastra, stilistika sampai puisi. Dua nama tadi hanyalah contoh dari sekian nama yang mengisi lembaran tiga abad pertama sejarah Islam sebagai partisipan di dalam kehidupan publik.[27]

Penjelasan tentang kondisi kaum perempuan dalam masyarakat Muslim di era klasik dan pertengahan tersebut membuktikan terjadinya proses pemberdayaan bagi mereka. Kondisi kaum perempuan di negara-negara Islam di era modern ini memang masih sangat memperhatinkan. Berbagai Indikator untuk mengidentifikasi tingkat keberdayaan mereka menunjukkan perlunya upaya pemberdayaan ekstra intensif.[28]

Di sektor pendidikan, mereka (negara-negara Islam) masih sangat ketinggalan, baik dari tingkat kebuta-aksaraanya maupun partisipasinya di lembaga pendidikan. Dalam kebuta-aksaraannya, kondisi terparah dialami di Somalia, karena 80%dari perempuan dewasanya buta huruf. Di Irak dan Libia, tingkat kebuta-aksaraan 51% sedangkan di Kuwait 33%. Tingkat partisipasi mereka di sekolah dasar dan menengah juga rendah. Di Mesir, rasio perbandingan jumlah mereka sebagai partisipan pendidikan di sekolah menengah dengan peserta didik lelaki adalah 76 berbanding 100. Di Tunisia rasionya 77 berbanding 100, sedangkan di Maroko 69 berbanding 100. Ketimpangan juga dijumpai pada tingkat sekolah dasar. Di Mesir, ketimpangannya adalah 80, di Syiria 87, Maroko 66 dan Saudi Arabia 84 berbanding 100.[29]

Meskipun statistik di atas menunjukkan ketimpangan yang cukup segnifikan, angka-angka dalam statistik tersebut menunjukkan tingkat perbaikan yang tajam di bandingkan  kondisi 20 tahun sebelumnya. Perlu disebutkan bahwa statistik tersebut adalah hasil survei tahun 1990.[30]

Partisipasi perempuan Indonesia di sektor publik lebih baik dibandingkan dengan tingkat partisipasi kaum perempuan di negara-negara Muslim Timur Tengah. Perbandingan rasio partisipasi mereka di sektor pendidikan dan ketenagakerjaan, misalnya, lebih tinggi dibandingkan dengan rasio serupa di negara-negara Muslim tersebut. Namun perlu dicatat bahwa kondisi tersebut tidak lepas dari kultur Asia Tenggara yang sudah sejak dulu memberikan akses kepada perempuan untuk terlibat dalam kehidupan publik.[31]

Pusat Penelitian dan Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta telah mengadakan penelitian sampai pada sebuah kesimpulan akan adanya pengkatetgorisasian “ulama perempuan.” Hanya saja PPIM tidak mengadopsi istilah ulama dalam pengertian sempit, juga bukan dari pembatasan-pembatasan religio-sosiologis yang dikemukakan di atas. Dengan kata lain, pengertian ulama perempuan di sini digunakan dalam pengertian longgar, sehingga hasil pengkategorian sedikit rinci dan longgar dari ulama-ulama perempuan yang diakuinya masih tumpang tindih.[32]

Adapun kategori tersebut adalah 1) ulama kampus yang mencakup Rahmah El-Yunusiyah, Zakiah Darajat, Bararah Baried, Tuty Alawiyah. 2) ulama pesantren mencakup Sholihah Wahid Hasyim, Hj. Chamamah, Hj. Nonoh Hasanah juga Suryani Thahir. 3) ulama organisasi sosial-keagamaan yang mencakup Nyai Ahmad Dahlan, Bararah Baried, Sinta Nuriyah, ‘Aisyah Amini. 4) ulama tabligh (bi al-lisan dan dengan seni) mencakup Lutfiyah Sungkar dan Rafiqah Darto Wahab.[33]

Sekian dulu yah, hehehe.

@Fadjrul_Tadjdied


[1] H. Taufikul Hakim, Kamus At-Taufiq, El Falah Offset, Jepara, 2004, hlm. 426

[2] Abd Kadir Jaelani, Peran Ulama dan Santri dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia (Surabaya: Bina Ilmu, 1994), 4.

[3] Horikoshi, Kyai dan perubahan Sosial (Jakarta: P3M, 1987), 36.

[4] Ibn al- Jawzi, Talbis Iblis (Kairo: Maktabah al-Madani, 1998), hlm. 130-151.

[5] al- Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din (Kairo: Dar al-Sha’b, tt) juz I, hlm. 58-82.

[6] Muhammad Fajrul Falah, Tanda-tanda ulama akhirat dan ulama dunia dalam kitab ihya ulumiddin, Risalah D-III kearsipan Mahad Aly Al Hikmah 2, 2016, hlm. 9.

[7] Jalaludin al-Suyuthi, Tabaqat al-Mufassirin (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt).

[8] Muhammad Zuhri, Hadith Nabi: Telaah Historis dan Metodologis (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1997), hlm. 1-8.

[9] Arnold H. Green, The Tunisia Ulama Social Structure and Response to Ideological Current (Leiden: E.J. Brill, 1978), hlm. 3.

[10] Azyumardi Azra, Historiografi, hlm. 152-153.

[11] Ali Yafie, “Pengertian Wali al-Amr dan Problematika Hubungan Ulama dan Umara” dalam Nurcholish Madjid, dkk, Islam Universal (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 189-190.

[12] Ahmad Suhendra, “Rekonstruksi Peran dan Hak Perempuan dalam Organisasi Masyarakat Islam”, Musawa, Vol 11, No. 1 Januari 2012, hlm. 48.

[13] Zubaedi, Islam Benturan dan Antarperadaban (Yogyakarta: Arruz Madia, 2007), hlm. 225.

[14] Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender (Yogyakarta: LKiS, 2007), hlm. 18.

[15] Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: … Ibid, hlm. 19.

[16] Yayuk Fauziyah, Ulama Perempuan Dan Dekonstruksi Fiqih Patriarkis, ISLAMICA, Vol. 5, No. 1, September 2010, hlm. 169.

[17] Hamim Ilyas, “Kata Pengantar” dalam Perempuan Tertindas? “Kajian Hadits-hadits ‘Misoginis’, (Yogyakarta: eLSAQ, 2005), hlm. 4.

[18] Muhammad Anis Qasim Ja’far, Perempuan dan Kekuasaan: Menelususri Hal Poitik dan Persoalan dalam Islam, terj. (Amzah: 2002), hlm. 20.

[19] Yayuk Fauziyah, Ulama Perempuan Dan Dekonstruksi Fiqih Patriarkis,… hlm. 164.

[20] Najla Hamadeh, “Islamic Family Legislation: The Authori-tarian Discourse of Silence” dalam Mai Yamani, Feminisme and Islam: Legal and Literary perspective (New York: New York University Press, 1986)

[21] Javad Nurbakhsh, Sufi Women¸ Leonard Lewisohn (ter.) (London: Khaniqahi-Nimatullahi Publication, 1990), 11.

[22] Ibid., 12.

[23] Ibid., 4; 1.

[24] Haleh Ashfar, “Islam and Feminism: An Analysis of Political Strategis,” dalam Mai Yamani, (ed.) Feminism and Islam: Legal and Literary perspective (New York: New York University Press, 1996) 199.

[25] Ibid.

[26] Raga El-Nimr, “Women in Islamic Law”, dalam Mai Yamani (ed.) Feminism and Islam: Legal and Literary perspective (New York: New York University Press, 1996), 92-93.

[27] Ibid., 93.

[28] Thoha Hamim, dalam kata pengantar: Mutiara Terpendam, Perempuan Dalam Literatur Islam Klasik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002), xxxiv.

[29] Ghada Karmi, “Women, Islam dan Patriarchalism,” dalam Mai Yamani (ed.), Feminism and Islam: Legal and Literary perspective (New York: New York University Press, 1990) 71.

[30] Ibid.

[31] Thoha Hamim, dalam kata pengantar: Mutiara Terpendam,Perempuan Dalam Literatur …, xxxv.

[32] Yayuk Fauziyah, Ulama Perempuan Dan Dekonstruksi Fiqih Patriarkis… hlm. 163.

[33] Azyumardi Azra, Historiografi, hlm. 156.